[Artikel] BJ Habibi - Ilmuan Pemegang 46 Hak Paten Di Bidang Aeronautika

Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng atau yang lebih dikenal sebagai BJ Habibie adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Ia menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Kemudian pada 20 Oktober 1999 jabatan BJ Habibie digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden terpilih pada Pemilu 1999 oleh MPR. Dengan menjabat selama 2 bulan dan 7 hari sebagai wakil presiden, dan 1 tahun dan 5 bulan sebagai presiden, BJ Habibie merupakan Wakil Presiden dan juga Presiden Indonesia dengan masa jabatan terpendek. Saat ini namanya diabadikan sebagai nama salah satu universitas di Gorontalo, menggantikan nama Universitas Negeri Gorontalo. Ia merupakan ilmuan pemegang 46 hak paten dalam bidang Aeronautika.
Aeronautika (dari bahasa Yunani aer yang berarti "udara" dan nautike yang berarti "navigasi di udara") adalah ilmu yang terlibat dalam pengkajian, perancangan, dan pembuatan mesin-mesin berkemampuan terbang, atau teknik-teknik pengoperasian pesawat terbang dan roket di atmosfer.

BJ Habibie juga mendapat julukan Mr. Crack dari seluruh penjuru dunia. Julukan ini ia dapatkan bermula ketika tahun 1960-an sering terjadi sebuah kecelakaan pesawat. Kemudian setelah diteliti ternyata hal tersebut terjadi karena kerusakan kontruksi pesawat yang belum bisa terdeteksi. Titik yang paling rawan terkena kerusakan tersebut adalah pada sambungan antara badan dan juga sayap pesawat. Atau bisa juga terjadi di antara sayap pesawat dan dudukan mesin pesawat. Saat kerusakan terjadi maka akan ada keretakan logam yang sering juga disebut dengan Crack. Dan pada saat itu belum ada satupun alat yang mampu mendeteksi adanya Crack tersebut.

Di sinilah kiprah dan karir BJ Habibie mulai terlihat. Ia mampu menemukan perhitungan mengenai hal tersebut dengan rinci bahkan sampai pada perhitungan atom logamnya. Dengan adanya perhitungan yang ditemukan oleh BJ Habibie tersebut kini dunia penerbangan sudah bisa menghitung dengan rinci adanya Crack yang mungkin akan menyebabkan bahaya pada pesawat. Oleh dunia penerbangan, teori Habibie ini kemudian dinamakan crack progression. Tentunya teori ini membuat pesawat lebih aman. Tidak saja bisa menghindari risiko pesawat jatuh, tetapi juga membuat pemeliharaannya lebih mudah dan murah.

Sebelum titik crack bisa dideteksi secara dini, para insinyur mengantispasi kemungkinan muncul keretakan konstruksi dengan cara meninggikan faktor keselamatannya (SF). Caranya, meningkatkan kekuatan bahan konstruksi jauh di atas angka kebutuhan teoritisnya. Akibatnya, material yang diperlukan lebih berat. Untuk pesawat terbang, material aluminium dikombinasikan dengan baja. Namun setelah titik crack bisa dihitung maka derajat SF bisa diturunkan. Misalnya dengan memilih campuran material sayap dan badan pesawat yang lebih ringan. Porsi baja dikurangi, aluminium makin dominan dalam bodi pesawat terbang. Dalam dunia penerbangan, terobosan ini tersohor dengan sebutan Faktor Habibie.
Faktor Habibie bisa meringankan operating empty weight (bobot pesawat tanpa berat penumpang dan bahan bakar) hingga 10% dari bobot sebelumnya. Bahkan angka penurunan ini bisa mencapai 25% setelah Habibie menyusupkan material komposit ke dalam tubuh pesawat. Namun pengurangan berat ini tak membuat maksimum take off weight-nya (total bobot pesawat ditambah penumpang dan bahan bakar) ikut merosot. Dengan begitu, secara umum daya angkut pesawat meningkat dan daya jelajahnya makin jauh. Sehingga secara ekonomi, kinerja pesawat bisa ditingkatkan.
Faktor Habibie ternyata juga berperan dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat. Sehingga sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas. Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh, sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Faktor mesin jet yang menjadi penambah potensi fatique menjadi turun.
 
BJ Habibie belajar teknik mesin di Universitas Indonesia Bandung (Sekarang Institut Teknologi Bandung) pada tahun 1954. Dan kemudian Pada 1955–1965 ia melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang, di RWTH Aachen, Jerman Barat, menerima gelar diplom ingenieur pada 1960 dan gelar doktor ingenieur pada 1965 dengan predikat summa cum laude.

Sebuah majalah Teknologi terbitan Jakarta pernah menyebut BJ Habibie sebagai “Manusia Multidimensional”. Sebutan ini ternyata sangat disukai Habibie. Terlebih, julukan itu muncul tidak berselang lama setelah ia meraih medali penghargaan “Theodore van Karman, sebuah anugrah bergengsi di tingkat internasional yaitu tempat berkumpulnya pakar-pakar terkemuka konstruksi pesawat terbang.

Demikian sosok BJ Habibie, ilmuan cerdas asal Indonesia. Ia merupakan sosok manusia paling multidimensional di Indonesia. Salah satu penghargaan paling berkelas yang diperolehnya adalah Theodhore van Karman Award, yang dianugerahkan oleh International Council for Aeronautical Sciences pada pertemuan tahunan dan konggres ke-18 ICAs yang diselenggarakan di Beijing, China tahun 1992 dari Pemerintah China. Bukan hanya cerdas, BJ Habiebie adalah sosok yang patut kita tiru dalam hal cintanya kepada tanah kelahirannya, Indonesia. Ia pernah mendapat tawaran Jerman untuk menjadi warga negara kehormatan. Sebuah tawaran yang amat jarang diberikan oleh Jerman. Namun demikian, BJ Habibie tidak silau dengan tawaran tersebut. Karena saking cintanya pada tanah air Indonesia, BJ Habibie memilih setia menjadi warga Negara Indonesia dan ingin selalu menyumbangkan karya dan keilmuannya untuk Negara Republik Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar